AUGUSTE COMTE A. Lahirnya Positivisme
Positivisme lahir
sebagai reaksi terhadap zaman pencerahan. Dalam buku Teori Sosiologi Karya
George Ritzer dan Douglas J. Goodman disebutkan, pengaruh Pencerahan pada teori
sosiologi lebih bersifat tidak langsung dan negatif ketimbang bersifat langsung
dan positif.
Zaman pencerahan
menyebabkan beberapa “penyakit” pada masyarakat. Oleh karena itu Comte
menginginkan adanya perubahan atau reformasi sosial untuk memperbaiki
“penyakit” yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan Pencerahan itu. Comte
hanya menginginkan evolusi alamiah di masyarakat. Hingga akhirnya
tercipta teori evolusi yang dikemukakan Comte atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
a. Tahap
teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi
ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa, roh atau
tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan segala
fenomena yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional. Dalam tahap
teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama
fetisysme dan dinamise, menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa. Contohnya,
bergemuruhnya guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang dan lain-lain.
Kemudian ada animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau
bangsa halus. Yang kedua politeisme, sedikit lebih maju dari pada kepercayaan
sebelumnya. Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam berdasarkan
kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme menyederhanakan alam
semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu disetiap sawah di desa
berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah
dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan dewa padi
yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang
menganggap hanya ada satu tuhan.
b. Tahap
metafisik
Pada tahap ini manusia mengalami
pergeseran cara berpikir. Tahap teologis, semua fenomena yang terjadi disekitar
manusia sebagai akibat dari kehendak roh, dewa atau tuhan. Namun pada tahap
ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan seperti “alam”. Tahap ini
terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
c. Tahap
positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam atau
fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan,
pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Lembaga agama yang dulunya
mengatur segalanya pada tahap ini harus menyerahkan hegemoninya kepada
lembaga-lembaga lainnya sehingga muncullah lembaga-lembaga lainnya. Selainnya
itu muncul sekulerisme atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain.
Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi
lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung
berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih
berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya
menemukan hukum yang mengaturnya (Teori Sosiologi, George Ritzer & Douglas
J. Goodman Halaman 17).
B. Dinamika Proses Evolusi Akal-Budi
Tidak semua
perkembangan pikiran berlangsung cepat dan lancar. Proses perkembangan
akal-budi ada yang berlangsung cepat ada pula yang lambat. Perkembangan
berlangsung cepat apabila dibidang itu cenderung lebih sederhana dan bersifat
universal. Berbeda halnya dengan bidang ilmu pengetahuan lain yang rumit dan
bersifat fenomin Pengetahuan ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa
diakui di masyarakat. Dalam buku realitas sosial dijelaskan bahwa inti ajaran
Comte yaitu sejarah pokoknya adalah proses perkembangan bertahap dari cara
manusia berfikir dan proses ini bersifat mutlak, universal, dan tak terelakkan.
Namun demikian semakin manusia menyadari bahwa hukum evolusi bersifat pasti,
dan mendukungnya , semakin cepat masyarakat baru akan terwujud.
C. Masyarakat Positivis adalah Masyarakat Industri
Zaman berburu dan
meramu, maupun sistem produksi tradisional berganti menjadi zaman modern dengan
ditemukannya mesin-mesin yang mempermudahkan pekerjaan manusia. Dari
positivisme lahirlah masyarakat industri karena pengetahuan semakin berkembang.
Berubahnya masyarakat menjadi masyarakat industri mempengaruhi antagonisme
kelas dan kemiskinan kaum buruh karena sistem ekonomi yang berkembang yaitu
sistem ekonomi liberal. Comte membenarkan hal milik perseorangan atas
sarana-sarana produksi, juga hak untuk mengumpulkan kekayaan besar. Menurut
dia, antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh hanyalah efek samping dari
sistem ekonomi liberal. Namun, bukan berarti Comte menyetujui persaingan liar
yang tak terkendali, dan kebebasan mutlak di bidang ekonomi. Karl Marx tidak
setuju dengan sistem ekonomi liberal. Menurut dia, terjadinya antagonisme kelas
dan kemiskinan merupakan hal yang kronis dan harus segera diperbaiki.
D. Statika dan Dinamika Sosial
Statika sosial yang
dimaksud yaitu semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang orde,
tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara lain disebut: sistem perundangan,
struktur organisasi, dan nilai-nilai seperti keyakinan , kaidah, dan kewajiban
yang semuanya memberi bentuk yang kongkret dan mantap pada kehidupan bersama.
Statika sosial itu disepakati oleh anggota yang disebut volonte general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati
manusia akan persatuan , perdamaian, dan kestabilan. Tanpa unsur-unsur
struktural ini kehidupan bersama tidak dapat berjalan.
Dinamika sosial yang
dimaksud yaitu semua proses pergolakan yang menuju perubahan sosial. Dinamika
sosial merupakan daya gerak sejarah yang pada setiap tahap evolusi mendorong
kearah tercapainya keseimbangann baru yang setara dengan kondisi dan keadaan
zaman. Pada abad ke 18 dinamika sosial yang paling menonjol dalam perjuangan
dan usaha untuk mengganti gagasan-gagasan agama yang lama dengan konsep-konsep
positif dan ilmiah yang baru.
Comte telah menyaksikan
krisis sosial yang hebat, disebabkan oleh benturan antara masyarakat tradisi
dengan masyarakat industri baru. Kendati demikian ia berkeyakinan bahwa
masyarakat akan menjadi tertib kembali kalau suatu kesepakatan tentang
nilai-nilai baru akan tercapai.
E. Comte Sebagai Pembaru Agama
Comte sangat dikesankan
oleh abad pertengahan. Bukan tahap evolusi akal-budi di zaman itu mengesankan
dia, tetapi pengintegrasian yang ditonjolkan antara nilai-nilai rohani dengan
nilai-nilai duniawi. Misalnya, lembaga keluarga tidak semata-mata dianggap
sebagai sumber sekuler saja, tetapi dianggap suci dan sacral juga. Terdorong
oleh keyakinannya bahwa hati manusia merupakan daya yang terutama, ia melucuti
angkatan bersenjata dari cita sakralnya, dan sebagai gantinya ia memberi status
sacral kepada kaum wanita. Ia meningkatkan status sosial mereka dan meluhurkan
perana merekan dalam rumah- tangga. Ia menentang perceraian, ibu Yesus
dihormatinya. Melalui hormat kepada Bunda Maria ia menyatakan hormatnya kepada
semua ibu. Pada saat menjelang wafatnya para hadirin mendengar dia berbisik
“Ibu dari AnakMu”.
Comte menarik
kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip-prinsip
positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui agama gaya baru, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya,
hari-hari raya, dan orang “Kudus”-nya. Hanya agama yang akan mampu menyemangati
baik akal-budi maupun perasaan dan kemauan. Oleh karena itulah, Comte dalam
masa tuanya mendirikan agama baru itu. Yang disembah sebagai Yang Mahatinggi
bukan Allah, melainkan humanitas atau
manusia. kita harus mencintai
humanitas. Dengan humanitas tidak dimaksudkan semua orang, termasuk yang tidak
becus dan jahat. Melainkan orang-orang terbaik yang pernah dihasilkan sejarah
dan masih hidup melalui karya dan pengaruh mereka. Kita harus mencintai kemanusiaan mereka yang abadi. Menurut
Comte cinta inilah yang akan memulihkan keseimbangan dan pengintegrasian baik
dalam diri individu maupun dalam masyarakat. Cinta ini akan melahirkan
pemerintahan sipil, menjinakkan, dan mengendalikan tiap-tiap kekuasaan dunawi.
Kata Marvin, “masyarakat yang sedemikian rupa diatur, hingga prinsip-prinsip
sosial memainkan peranan paling penting, merupakan suatu sosiokrasi. Itulah sumbangan istimewa Comte kepada dunia”. (Marvin,
F.S., 1936: 195-196).
Sumber:
Ritzer, George. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta. Kreasi Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar